Pages

Minggu, 26 Agustus 2012

[NEWS]Erupsi Krakatau: Hari di Mana Dunia "Meledak"



Anak Krakatau muncul dan terus bertumbuh. Akankah bencana terulang?


VIVAnews - Saat almanak menunjuk tanggal 26-27 Agustus 1883, 129 tahun lalu, situasi kawasan Selat Sunda bagai neraka. Setelah tidur panjang selama 200 tahun, Gunung Krakatau tak sekedar meletus, ia meledakkan dirinya sendiri hingga hancur berkeping.

Puncaknya terjadi Senin, 27 Agustus 1883, tepat pukul 10.20, Krakatau meletus dahsyat. Kekuatannya setara 150 megaton TNT, lebih 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Melenyapkan pulau dan memicu dua tsunami, dengan tinggi maksimal 40 meter, yang menewaskan lebih dari 35.000 orang.

Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur. Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi.

Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandeg perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad, demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku, "Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883"atau "Krakatau: Hari di Mana Dunia Meledak, 27 Agustus 1883".

Penemuan telegraf dan kabel bawah laut memungkinkan kabar letusan gunung di Hindia Belanda, Indonesia kala itu, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Bahkan orang di Boston bisa membaca beritanya keesokan harinya. "Dunia berubah di era 1880-an, Krakatau adalah momentum, dan kabel (telegraf) adalah agen perubahan, itu pendapat saya," kata Winchester seperti dimuat CNN.
Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru.

Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh.

Karena sejarah induknya yang mematikan, Tak hanya dipantau ahli gunung Indonesia, Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.

Saat ini, seperti dimuat situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Anak Krakatau berstatus Waspada sejak 26 Januari 2012 lalu. Apakah ia akan mengulangi letusan dahsyat induknya 1883 lalu? Tak ada yang tahu.

Yang jelas, gunung itu kini menjadi perhatian para ahli gunung api. "Sumber daya geologi, para ahli geologi, dengan data geologi yang ada berusaha membuka tabir mekanisme pembentukan kaldera Krakatau dan kejadian yang akan datang," demikian dimuat di laman PVMBG.


kisah para penjaga anak gunung krakatau 



Suara itu terdengar dari radio,"posko pendukung III, pos pengamatan Gunung Anak Krakatau, selamat pagi," kata orang di seberang sana. “Selamat pagi kembali posko 22. Pendukung III melaporkan situasi. Kegiatan Gunung Api Anak Krakatau masih seperti kemarin. Status masih siaga. Demikian 22, pendukung III stand by,” jawab operator.

Percakapan tersebut kemudian terhenti, dan akan berulang pada waktu yang telah ditentukan. Secara rutin, minimal dua kali sehari, operator melaporkan status terkini gunung yang terletak di Selat Sunda itu. Laporan itu diterima langsung ke Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan. Posko 22 adalah nama Satlak PB.

Aktivitas di pos pendukung nampak seperti biasa, saatVIVAnews.com berkunjung beberapa waktu yang lalu. Padahal, sejak tanggal 19 September lalu, aktivitas vulkanik Anak Krakatau mulai meningkat. Kalau sebelumnya terjadi sekitar 1.000 kali gempa, kini meningkat menjadi 5.000-6.000 kali gempa setiap hari.

"Kegiatan vulkanik saja, jadi sudah dianggap biasa, masyarakat sekitar juga sudah biasa, tidak ada yang panik," ujar Kepala Pos Pengamatan GAK, Andi Suardi kepada VIVAnews. Pos tersebut terletak di Desa Hargo Pancuran, Kecamatan Rajabasa --  35 Kilometer, atau satu jam perjalanan bermotor dari Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan.

Hari itu, terjadi 3-4 kegempaan permenit. "Gempa tersebut sangat rapat, jadi belum bisa dihitung, begitu juga tremor, kalau letusan tidak ada. Setiap hari bisa 5000-6000 kali gempa," ujarnya. Karena itulah, sejak 30 September pukul 24.00, status Anak Krakatau naik menjadi siaga.

Aktivitas gempa yang mencapai ribuan kali tersebut, menurut Andi, karena Anak Krakatau sedang dalam aktivitas membangun. Dia mengakui, ini kali pertamanya menyaksikan anomali Krakatau: gempa sampai ribuan kali. "Peristiwa ini memang baru pertama terjadi sejak saya ada disini tahun 1995. Sepengetahuan saya aktivitas ini  serupa dengan Gunung Kelud di Jawa Timur," lanjutnya.

Ia menjelaskan, setiap gunung api memiliki karakter berbeda-beda dan melihat tingkat gempa. Meski, tingginya intensitas gempa Anak Krakatau serupa dengan Gunung Kelud sesaat sebelum terjadi letusan besar. "Dalam kondisi seperti ini, kami hanya menghimbau untuk nelayan atau wisatawan agar tidak berada pada radius 2-3 kilometer dari gunung," imbaunya.

Hari itu mata Andi terlihat memerah, karena kurang tidur. Bagaimana tidak, setiap hari selama 24 jam ia dan dua anggotanya -- Edi dan Hamdani--- terus memantau perkembangan aktivitas Anak Krakatau.

Selain mencatat, Andi dan anak buahnya juga harus memberikan laporan secara bergantian tentang aktivitas Anak Krakatau ke Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Bandung.

Mereka melapor menggunakan radio SSB, radio komunikasi jarak jauh yang menjangkau seluruh pulau di Indonesia. “Namun kalau radio sedang gangguan biasanya mengirim laporan dengan pesan singkat (SMS) saja,” terang Andi.

"Kami hanya bertugas memantau, mencatat, dan melaporkan aktivitas gunung secara visual dan instrumental. Pusat yang menentukan statusnya. Pusat yang kemudian memberitahu ke gubernur, bupati, hingga dinas terkait," ungkapnya.

Banyak suka dan duka yang dialami selama memantau gunung yang 'ibunya' pernah meletus dahsyat pada tahun 1883 itu. "Susahnya kalau listrik mati, tentu saja akan mempengaruhi kerja seismograf. Makanya sekarang seismograf sudah menggunakan tenaga surya untuk mengantisipasi," ungkap Andi.

Pos pemantau  tidak memiliki jadwal piket baku. Siapa saja yang ada bisa mengirim laporan. "Kalau gunung aktif normal, kerja dengan jam kantor biasa, masuk pagi pulang sore. Akan tetapi kalau status aktivitas seperti ini, semua petugas stand by," kata dia.

Apalagi saat aktivitas meningkat tajam seperti sekarang, Andi dan anak buahnya harus rela tinggal di pos selama beberapa hari. Meninggalkan anak istri mereka yang rata-rata tinggal di Kalianda. Laporan: Andry Kurniawan| Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar